BERSAMA SENJA

 

Matahari sore hari memang  meneduhkan, sinarnya membuat pikiran kita tenang setelah melakukan berbagai macam aktivitas yang melelahkan. Polusi pun tidak seperti angin ribut yang bertebangan kesana kemari karena kendaraan sudah mulai berkurang. Dan yang terpenting hiruk pikuk kendaraan dan orang-orang berseliweran juga sudah jarang.

Saat ini Aku berada di halte dimana aku biasa menunggu bis sepulang sekolah. Beberapa minggu ini aku sering pulang sore. Kehangatan sore semakin indah karena ditemani senja yang hanya pada saat pulang sekolah seperti ini saja bisa kunikmati.

 “Huf, semoga bisnya cepetan dateng.” Aku langsung menyenderkan badanku yang lelah di deretan kursi di halte. Seharian ini benar-benar melelahkan, tadi baru saja ada pelajaran penjasorkes lari estafet dan dua ulangan yang soalnya entah diambil dari planet mana. Baru sebentar aku memejamkan mata, menghilangkan stres kurasakan angin menerpa wajahku, ada seseorang membangunkanku.

“Mba…mba…bangun mba!”

Setelah kubuka mata ibu-ibu berumur sekitar tigapuluh tahunan sudah berdiri dihadapanku  seperti sedang terburu-buru.

“A..ada apa Bu, ada yang bisa saya bantu?”

“Itu disana mba, mas bagus itu dari tadi tidur hampir satu jam-an, enggak bangun-bangun, sudah sempat saya bangunkan tadi, eh malah tidur lagi. Coba mba bangunkan deh.” Jelas ibu itu yang ternyata adalah pemilik warung di sebelah halte.

“Tapi saya enggak kenal sama dia Bu,” Jawabku acuh.

“Loh gimana to Mba, meskipun begitu Mba ini kan temannya satu sekolah buktinya seragamnya saja sama. Coba Mba bangunkan dulu, kasihan sekarang kan banyak orang jahat. Saya mau pulang sudah ditunggu bis,”Ucap ibu itu sambil pergi ke bis.

Kenapa aku yang harus membangunkannya, jelas-jelas aku tidak mengenalnya, lebih tepatnya dia yang tidak mengenalku sebenarnya. Ia adalah cowok kelas dua belas, namanya Binuko. Kenapa aku bisa mengetahuinya itu karena dia selalu menarik perhatianku, aku sering pulang se bis dengannya. Saking seringnya, aku jadi sulit untuk tidak memperhatikannya. Namun setiap harinya hanya sebatas memandang dan mengetahui namanya saja tidak lebih, dan sudah jelas dia pasti tidak mengenalku, karena kita tidak pernah saling bicara atau menyapa. Bis tujuanku akhirnya datang. Kakiku sudah mau melangkah menuju bis, tapi tiba-tiba hatiku memberi alarm bahwa aku tak tega meninggalkannya sendirian. Bagimana kalau Ia tidak bangun-bangun dan malah dijahatin orang seperti kata ibu tadi. Kuputuskan membangunkannya saja.

Aku tahu emosi ini hanyalah emosi sesaat  karena suatu kebiasaan, seperti kata orang jawa “Trisna jalaran saka kulina” yang artinya kurang lebih rasa suka terjadi karena sudah terbiasa.

Saat ini jantungku berdegup sangat kencang hanya untuk membangunkannya saja. Ketika aku akan membuka mulut tiba-tiba ada suara truk mengklakson. Refleks aku segera duduk di bangku sampingnya, takut kalau-kalau Ia terbangun dan melihat aku yang berdiri di depannya  dengan ekspresi bodoh dan salah tingkah.

Keadaan tetap hening. Kupalingkan wajah kekiri, kulihat wajah yang ditekuk itu diterpa sinar matahari senja meneduhkan, dengan kedua tangan yang disilangkan didepan. Ini baru pertama kali aku melihat ada orang yang bisa tidur hampir se-jam dengan posisi duduk seperti itu. Tanpa kusadari aku terus memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala,

Ini enggak boleh dibiarin, batinku. Kenapa hanya untuk membangunkannya saja harus takut. Kalau begini terus aku bisa tidak pulang-pulang.

 “Bangun,”

Tiba-tiba badannya menggeliat, seperti baru bangun tidur dipagi hari. Aku langsung memalingkan wajah keseberang jalan. Dari ujung mataku aku lihat Ia terkejut karena aku bisa persis duduk disebelahnya. Sadar akan pertanyaan yang mungkin akan diberikan padaku, aku langsung berdiri dan masuk bis. Tak berapa lama ia juga mengikutiku di belakang dan masuk ke dalam bis. Jantungku langsung berdetak kencang tak karuan lagi.

Keesokan harinya aku masih teringat kejadian hari itu. Ada lubang kecil dari hatiku yang mengatakan bahwa itu adalah kesempatan emasku untuk bisa setidaknya berkenalan dengannya. Bahkan satu kata saja yang pasti tidak sempat terdengar olehnya. Kelasku saat ini kosong, maklum saja aku adalah pelajar SMA yang mengambil jurusan IPS. Di sekolahku ini terkenal dengan siswa jurusan IPAnya yang rajin, pintar, dan penurut sedangkan siswa jurusan  IPS bandel dan suka membuat masalah. Hal itu menimbulkan diskriminasi dikalangan guru walaupun tidak secara terang-terangan diperlihatkan. Namun, kami siswa IPS cukup menyadarinya,

 Tetap saja layaknya para pelajar kebanyakan, anehnya kami justru tidak merasa dirugikan dengan hal tersebut. Kecuali untuk siswa berprestasi dan rajin yang tentu sangat menyayangkannya. Dengan pelajaran kosong aku cukup netral, aku tidak terlalu membencinya namun karena pelajaran kosong aku bisa mendengarkan musik atau pergi ke atap sekolah menenangkan pikiran. Untuk kali ini aku memilih pergi ke atap.

“FLIA!!“ Vela, teman sebangkuku memanggilku dari pintu atap.

“Ada apa?” Jawabku.

Kamu mau nginep disini apa?Udah bel pulang tau,”

“Oh udah bel ya?Kok aku enggak dengar si,”

“Ya iyalah orang kamu kerjaannya di atap terus. Dasar ya, coba kalau enggak aku kasih tau, bisa pulang sampai malam,“

“Iya,iya deh makasih sahabatku yang paling aku sayang.”

“Sama-sama sahabatku tapi aku enggak sayang sama kamu.”

“Ih kok gitu,”

“Habisnya kamus seringnya ninggalin aku si kayak tadi kamu ke atap sendirian enggak ngajakin aku.”

            Beruntung aku mempunyai sahabat sepert Vela, ia sangat pengertian dan perhatian padaku. Ia mau menerima aku apa adanya.

            Sesampainya di kelas aku bersihkan alat tulis yang masih berserakan  di meja dan kumasukkan ke dalam tas. Ketika aku berjalan keluar, tanpa sengaja aku berjalan berdampingan dengan Binuko. Aku jadi teringat kata ibu penjaga warung, kalau aku dengan Binuko adalah teman. Kurasa ibu itu terlalu memberikan harapan yang besar padaku. Bahkan untuk sekedar menyampaikan satu kata saja sulit, bagaimana mungkin aku bisa berteman dengannya.

Aku terus berjalan berdampingan  dengannya melewati para pedagang jajan di pinggir jalan. Sore kala itu sepi seperti biasa. Masih senja yang indah. Pancaran mentari ikut mengiringi kami berdua. Dari jantung kini perutku juga merasa tidak karuan. Rasanya penuh dengan kupu-kupu. Aku benar-benar sudah jatuh hati. Langkah kakiku diam-diam mengikuti langkah kakinya, Berjalan berdampingan cukup dekat, ternyata tinggi badanku semampai dengannya. Rambutnya lebat dan hitam dengan gaya anak muda sekarang disempong keatas menggunakan gel rambut. Seragamnya selalu dilapisi sweater jins sekarang tampak lebih ketchy dengan sweater kain warna biru tua. Sepatunya pantofel gaya pria kantoran dengan semir hitam yang mengkilat. Kami terus berjalan berdampingan sampai masuk ke dalam bis. Bis nya penuh sesak sehingga aku dan Binuko harus berdiri. Dipemberhentian halte pertama ada seorang bapak tua turun menyisakan satu kursi kosong, langsung saja aku sambar kursi itu. Di pemberhentian kedua seorang ibu turun dengan anaknya yang duduk disebelahku.  Jantungku mau copot, ketika Binuko yang dari tadi berdiri langsung menyambar tempat duduk disebelahku yang kosong. Padahal masih tersisa tempat duduk yang ditempati ibu tadi. Orang-orang di dalam bis yang tadinya bisa kulihat jelas kini terlihat samar-samar mulai hilang dari pandangan. Di bis ini hanya ada aku dan Binuko saja yang duduk berdua. Kernet bis yang biasanya berisik bahkan juga tak terdengar suaranya. Ketika aku sedang berusaha keras untuk tidak menjerit dan tidak salah tingkah, Binuko membuka suara dan memulai percakapan denganku.

“Ehm..hai,“

“Ha hai juga,” Jawabku. Otakku masih mencerna apa benar tadi suara Binuko yang menyapaku.

“Kamu anak kelas sebelas kan? Boleh kenalan nggak, kita cukup sering loh pulang bareng.”

“Oh  boleh boleh, Flia nama aku Flia.” Jawabku. Entah apa yang ada pada pikiran Binuko karena reaksiku yang seperti menang undian itu.

“Cahyo Binuko. Panggil saja Binuko.” Ketika nama itu disebutkan oleh pemiliknya langsung dan ditujukan untukku, sungguh ini adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Sejak perkenalan hari itu, aku dan Binuko sering pulang bersama tapi juga sering mengobrol dan menjadi akrab. Semakin hari kita berdua semakin dekat. Aku merasa nyaman dengannya karena sifatnya itu sangat hangat dan perhatian. Tak jarang aku curhat dengannya tentang banyak hal, begitu juga sebaliknya.

Dua Bulan sebelum ujian kelas dua belas aku dan Binuko tidak pernah pulang bersama lagi, di sekolah aku juga jarang  melihatnya. Saat memasuki bulan-bulan akan ujian anak kelas dua belas memang jarang keluar kelas dan lebih banyak yang mendalami materi di kelas atau sekedar shalat dhuha saat jam istirahat pertama.

Aku duduk termangu dibawah sinar senja yang menerpa wajahku sambil menutup kedua mata. Terbayang kenanganku dengan Binuko. Seperti saat kenangan pertama aku bertemu dengannya. Saat itu bulan kedua aku masuk kelas sebelas aku jadi sering pulang sore. Di bis aku berdiri dan berdesak-desakan, tambah menyebalkan lagi dengan tasku berat karena penuh dengan buku paket. Sedangkan disampingku Binuko dengan santai berdiri sambil meletakan salah satu tangannya di saku celana. Aku heran kenapa Binuko bisa sesantai itu padahal keadaan bis sangat penuh sesak. Hari-hari berikutnya aku sering bersamanya menunggu bis di halte. Lalu kenangan saat pertama kali aku dan Binuko berkenalan dan selanjutnya sampi kita jadi dekat dan aku merasakan nyaman yang sampai saat ini sangat aku rindukan. Ketika aku membuka mata, tidak ada siapa pun di halte. Aku sendiri lagi menunggu dibawah sinar senja.

Sudah dua bulan lamanya aku tidak bertemu Binuko. Ujian dan ulangan semester juga sudah berlangsung. Waktu berlalu begitu cepat. Pada saat hari perpisahan kelas dua belas, aku pergi ke belakang aula karena kemarin Binuko menghubungiku dan bilang mau bertemu denganku katanya ada hal penting yang ingin disampaikan. Tentu aku sangat antusias mendengarnya. Dengan mencoba sekuat tenaga untuk tidak panik, aku tetap menunggu Binuko datang.

“Flia, udah nunggu lama ya?” Sapa Binuko dengan tergopoh-gopoh. Penampilannya terlihat lebih rapi dengan setelan jas putih dan celana hitam. Rambutnya juga tak kalah rapi dari biasanya. Ingin sekali aku melihat Binuko, dan setelah melihatnya kembali, penampilannya berubah sangat berbeda.

“Enggak kok, aku juga baru dateng, by the way selamat ya buat kelulusan kamu. Rasanya udah lama banget kita enggak ketemu kamu udah berusaha keras, congratulation.”

“Makasih, aku seneng juga bisa ketemu kamu lagi. Kayaknya kita bakal lebih sering lagi enggak ketemu kayak dulu. Aku diterima kuliah di Jogja, di UGM.” Sempat hening sebentar.

“O..oh ya? Selamat sekali lagi ya, kamu bener-bener hebat” Kalimat itu terdengar seperti dipaksakan karena sebenarnya ada lubang kecil di hatiku ketika mendengar pernyataan Binuko.

“Kok kamu kayak enggak senang gitu si? Kamu sedih ya bakal enggak ketemu aku lagi?”

“Kalau dibilang senang, aku pasti senang banget lah. Tapi...tapi apa itu berarti kita enggak bakal ketemu lagi? Apa kamu coba mau ketemu aku sekarang buat ngucapain selamat tinggal?”

Aku mau tanya, tahun depan universitas mana yang mau kamu tuju? Dulu memang aku pernah tanyakan hal yang sama, sama kamu dan aku harap jawaban kamu sekarang masih sama.”

“Maksud kamu?”

“Dulu kamu pernah bilang kalau kamu mau ngelanjutin kuliah di UGM kan?”

“Aku masih enggak ngerti sama  pertanyaan kamu.”

“Okey, maaf kalau aku ngomong enggak jelas begini. Langsung ke intinya aja ya. Sebenarnya aku...aku suka sama kamu.”

“Apa?”

“Aku juga ingin ketemu kamu lagi, pulang bareng dan ngobrol bareng seperti dulu. Selama hampir tiga bulan kita dekat, bahkan dari sebelum kenal sama kamu aku suka  sama kamu, aku sering perhatiin kamu.  Kamu  udah berhasil menarik perhatianku. Suatu saat ketika aku pulang dan aku tahu kelas sebelas belum pulang, tanpa disadari aku coba nunggu kamu supaya kita bisa bareng. Aku juga udah pernah sampe ketiduran. Oke aku malu ngakuin ini, tapi itu memang yang sebenarnya terjadi. Aku ngelakuin itu semua, dan akhirnya aku mencoba memberanikan diri buat kenalan sama kamu. Aku engak nyangka kita bisa dekat dan akrab dan yang pasti kita bisa nyambung. Tapi kesempatan aku buat ngedapatin hati kamu harus terputus sampai disini. Karena aku juga harus meraih impian dan cita-citaku. Dan aku memilih UGM, karena dulu kamu pernah bilang mau nerusin kuliah disana.”

“Enggak mungkin,” Kataku lirih karena tak percaya dengan ucapannya barusan.

“Ini kebenarannya, aku juga enggak tahu. Kamu bisa mempengaruhi aku sebegitu besarnya. Aku mau mohon dan minta izin sama kamu, buat bisa ngedapatin hati kamu, tapi itu buat satu tahun kedepan.”

Aku sudah tidak bisa membendung air mataku lagi. Air mataku deras bercucuran. Aku menangis mendengar pernyataan Binuko yang sama sekali tidak disangka itu. Aku kira selama ini perasaanku bertepuk sebelah tangan. Tapi peernyataan  Binuko barusan sungguh tidak kusangka, membuat seluruh badanku menjadi lemas. Otakku tak beraturan. Aku tak menyangka dari jawabanku yang tanpa pikir hanya jawaban sembarangan karena ketika ditanya waktu itu aku masih gengsi saja sebenarnya aku tidak mempunyai tujuan kuliah yang jelas. Aku asal saja menjawabnya. Tak disangka membuat Binuko sampai berpikiran sejauh itu. Apa bisa aku masuk ke UGM, dengan semangat belajarku yang sangat kurang. Tapi baru saja Binuko meminta izin mendapatkan hatiku satu tahun kemudian, maksudnya ketika aku juga sekolah di UGM dengannya.

“Tapi hati kan bisa saja berubah, kenapa kamu bisa begitu yakin mengatakannya? Apa kamu bisa menjamin kalau keputusan kamu saat ini bisa sama dengan keputusan kamu satu tahun kemudian?”

“Aku tahu itu dan aku akan bertanggung jawab atas semua keputusanku. Aku juga Cuma meminta izin dari kamu, bukan memberikan janji,”

Kalau izin aku pikir itu bukan hak aku.

Suasana menjadi berbalik, sangat canggung.

“Apa aku ngomongnya terlalu romantis ya, kamu sampe nangis gitu. Jangan nangis dong tambah jelek tau jadinya.”

 “Aku enggak nagis kok, lagian kamu juga yang buat aku sedih.”

“Eh lima menit lagi aku harus naik ke panggung, ini bukan pertemuan terakhir kita, karena aku harap satu tahun lagi kita bakal ketemu oke?Aku masuk dulu ya. Bye....

“Binuko! Tunggu!”

Binuko yang sudah berjalan berbalik kembali dan menjabat tanganku. Sambil berkata. “Kamu jaga diri, jaga kesehatan kamu, selalu semangat raih apa yang kamu impikan, Dan aku bakal nunggu kamu,”

Aku tidak bisa menjawabnya karena air mataku malah bertambah deras. Binuko sudah berjalan memasuki aula.

Banyak hal yang dia belum tahu tentang perasaanku padanya, tentang aku yang juga sejak dulu memperhatikan dia, tentang aku yang sebenarnya sudah jatuh hati dengannya jadi sebenarnya dia tidak usah meminta izin karena dia sudah mendapatkan hatiku sejak dulu.

 Dengan pancaran sinar senja yang menyengat sore ini aku bertekad akan bertanggung jawab dengan perkataanku dan berusaha keras masuk ke UGM dan menyatakan semua perasaanku pada Binuko.

Aku akan berlari untuk meraih senjaku dan impianku yang indah. Senja yang kuraih dan kunikmati nantinya tidak hanya untuk sementara, tapi untuk waktu yang cukup lama menerangiku.

-END-

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.