SAHABAT

 

Pandangan Trisa tertuju pada Pak Adi sang guru fisika yang sedang menerangkan materi optic, namun  sebenarnya ia sedang pergi jauh memikirkan hal yang mengganggunya selama beberapa minggu ini. Efli teman sebangkunya sudah hampir satu semester selalu absen disetiap minggunya. Kemarin Trisa bertanya kepada Efli tentang keadaannya, apakah sakit yang ia derita parah atau tidak karena Trisa sangat mengkhawatirkannya, namun jawaban Efli selalu sama yaitu karena sakit maghnya yang kambuh. Trisa takut apabila terjadi sesuatu pada Efli karena seperti ada yang dirahasiakan oleh Efli.

Tet…tet...tettttttttttt suara bel pulang berbunyi. Seluruh siswa segera merapikan buku dan memasukannya ke dalam tas. Tanpa pikir panjang Trisa langsung berlari keluar, ia akan pergi ke rumah Efli dan memaksanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saking tergesa-gesanya ia sampai menabrak seseorang. Brukk!!

“Eh sory sory nggak sengaja,” Ucap Trisa.

“Kalau jalan liat-liat dong!” Terdengan suara berat seorang cowok.

“Enak aja ngatain orang seenaknya, jelas-jelas aku nggak jalan tapi lari, aku juga udah minta maaf,”

“Kok malah kamu yang balik marahin aku-“

Eh..eh..eh tunggu mau kemana kan aku belum selesai ngomong!” Belum selesai cowok itu bicara Trisa sudah langsung pergi saja tidak menghiraukan panggilan cowok itu. Hari ini Trisa tidak membawa motor makanya ia harus berlari mengejar bis.

Sampainya di rumah Efli, Trisa ragu-ragu. Rumah Efli cukup ramai tidak seperti biasa saat Trisa datang kerumahnya. Rumah yang berada di tengah kebun pepaya itu selalu sepi karena baru sekitar dua kilometer dari rumah Efli baru terdapat rumah penduduk. Sebelum masuk Trisa mengintip dari gerbang rumah. Tak disangka, dari pintu depan yang sedikit terbuka Trisa melihat Efli sedang menyanyi bersemangat ditemani keponakan-keponakannya. Efli tampak bahagia sekali tanpa ada beban. Trisa jadi kangen dengan Efli, sudah lama ia tidak melihat Efli tertawa lepas seperti itu. Karena tidak mau menggangu acara kumpul keluarga tersebut Trisa memilih untuk pulang. Ia lega karena Efli terlihat baik-baik saja. Namun yang masih membuat janggal dihatinya kenapa Efli tidak berangkat hari ini dan izinnya karena sakit.

Setelah ujian kenaikan kelas, satu minggu setelahnya adalah hari bebas dan diisi dengan lomba-lomba antar kelas.

“Woi!! mau numpang nggak?Mumpung kosong nih,” Seru seorang cowok dari belakang Trisa yang mengendarai motor.

“Nggak ah nanti aku disuruh bayar lagi?” Jawab Trisa.

“Tenang aja, kali ini gratis kok. Ayo cepet mumpung lagi baik.”

“Oke deh kalau kamu maksa.” Tak ada ruginya memang menerima tawaran cowok satu ini.

“Nah gitu dong,”

Bagas namanya, cowok yang menabrak Trisa dua minggu lalu. Bagas  merupakan temannya semenjak SMP. Dulunya mereka tidak pernah akrab, mereka selalu bertengkar ketika bertemu. Naik kelas sebelas  sikap Bagas berubah, ia jadi sering mengalah dengan Trisa dan lebih perhatian terhadap Trisa. Trisa sering curhat pada Bagas termasuk mengenai Efli, dan Bagas selalu menjadi pendengar yang baik dan sering memberikan masukan pada Trisa.

Bisnis makanan yang dijalankan orangtua Trisa sedang terancam bangkrut, keuangan keluarganya jadi berantakan, hutangnya mulai menumpuk, jalan keluar dilakukan dengan menjual mobil ayahnya dan motor milik Trisa, itupun hanya cukup untuk membayar hutang piutang. Kini Trisa ditekan untuk hidup sederhana. Ujian kenaikan kelas yang baru saja berlalu juga cukup membuat pusing kepala Trisa. Trisa mencoba untuk mengahadapi semuanya dengan senyum dan dijalani saja, karena berdasarkan ocehan Bagas sebulan lalu, semua akan indah pada waktunya.

Disaat kacau seperti ini  Trisa membutuhkan seseorang yang mensuportnya tapi sahabat tercintanya, Efli justru semakin menjauh dan berbeda. Meskipun begitu, Trisa tetap tidak menyerah untuk selalu bisa dekat dengan Efli agar persahabatan mereka bisa diperbaiki dan Efli mau cerita sebenarnya apa yang terjadi dengannya. Tak dipungkiri hampir dua tahun ini mereka selalu duduk dan pergi bersama-sama bagaikan belahan jiwa yang tak terpisahkan.

Sesampainya di kelas dilihatnya Efli sedang menonton pertandingan bola basket bersama gerombolan tema-temannya di balkon. Dalam hati Trisa tersenyum karena Efli terlihat sehat dan baik-baik saja hari ini. Trisa langsung nimbrung dan duduk disamping Efli.

“Efli nanti kita main yuk, udah lama banget nih enggak main lagi,” Sambar Trisa sambil menggandeng lengan Efli seakan-akan sudah lama tak berjumpa.

“Main kemana?”Jawab Efli yang lebih terdengar canggung.

“Kali ini kamu deh yang nentuin, kemana aja aku ikut kok.”

“Maaf banget kayaknya enggak bisa deh.”

“Loh kenapa?kamu masih sakit ya?”

“Enggak si, tapi rencananya nanti mau pergi ke Jogja bareng keluarga besarku.” Jawab Efli.

“Oh gitu, ya udah nggak papa lain kali aja kita mainnya.” Trisa langsung pergi ke dalam kelas. Perasaan kecewa dan sedih tidak bisa ia sembunyikan. Efli bahkan tidak peduli terhadapnya sekarang. Padahal Trisa sedang membutuhkan seorang teman untuk setidaknya menghiburnya.

Sepulang sekolah Trisa berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang sepi. Baru satu dua langkah ia merasakan sesuatu yang aneh, bulu kuduknya langsung berdiri. Semakin berjalan jauh lorongnya semakin gelap. Hari memang sudah sore hampir seluruh siswa sudah pulang. Trisa tidak pernah percaya tentang segala hal gaib seperti hantu atau semacamnya. Namun kali ini ia benar-benar ketakutan setengah mati ketika hawa dingin mencekam kulitnya dan kakinya seperti membeku ditempat. Seketika itu,

“Doooooooooooooorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr.......................”

“Aaaaaaaaaaaaaaaa............” Teriak Trisa.

“Trisa kamu kenapa??bangun Tris, bangun!” Bagas panik karena tidak menyangka kejahilannya membuat Trisa sampai pingsan.

Ketika Trisa sadarkan diri dilihatnya Bagas berdiri dengan cemas disamping tempat tidur di UKS.

“Kamu sudah bangun, kamu nggak papa kan? Maaf tadi  aku bercanda mau ngerjain kamu abis kamu kelihatan ketakutan gitu si,”

Bukannya menjawab perkataan Bagas, Trisa malah menangis. Bagas bingung dan merasa bersalah. Bagas terus minta maaf dan menenangkan Trisa, bukannya diam tangisan Trisa malah semakin menjadi. Kira-kira butuh waktu 10 menit bagi Trisa untuk diam.

“Makasih ya.”

“Maksud kamu?” Jawab Bagas makin tambah bingung dengan penyataan Trisa.

“Kamu nggak salah kok, tadi aku lagi banyak pikiran aja jadi syok deh, terus pingsan karena baper.”

Kamu masih mikirin bisnis ayah kamu? Bukannya sekarang sudah membaik?”

“Bukan itu, ini soal Efli.”

“Efli?”

Trisa pun menceritakan pada Bagas tentang Efli. Setelah Efli bilang kalau dia akan pergi ke Jogja setelah hari itu sampai selanjutnya Efli benar-benar tidak ada kabar dia tidak pernah berangkat. Trisa semakin kesal karena dipikirnya Efli lebih memilih liburan ke Jogja daripada berangkat sekolah setidaknya untuk bertemu dengannya.

Esok hari ketika akan berangkat sekolah, ia mendapat panggilan dari Efli.  Ia heran karena tidak biasanya Efli menelphonenya, apa ia sudah pulang dari Jogja, tapi untuk apa Efli memanggilnya, jangan jangan ada urusan yang penting. Karena masih kesal dengan Efli Trisa memilih acuh. Soal sakit yang di derita Efli untuk alasan absennya dia tidak masuk sekolah, Trisa yakin itu hanya alasan Efli saja. Saat SMP Efli  pernah cerita kalau ia juga sering tidak masuk sekolah. Namun Efli tidak menceritakan alasannya kenapa.

Sambil berjalan santai dan bersenandung Trisa memasuki kelas. Ia senang karena ia sudah bisa melupakan Efli. Efli bisa seenaknya saja tidak menganggapnya sebagai sahabat lagi, kenapa Trisa harus berjuang sendirian mempertahankan persahabatan mereka. Menurutnya Efli  egois. Efli seperti menyembunyikan sesuatu dari Trisa padahal mereka itu sahabat yang harusnya saling berbagi dan percaya. Trisa sangat kecewa dengan perlakuan Efli. Trisa yakin Efli sudah tidak menganggap Trisa siapa-siapa lagi.

Agaknya Trisa heran dengan suasana kelas yang sepi dan muram. Perasaaanya menjadi tidak enak.

“Dani ini ada apa si?” Tanya Trisa pada Dani teman sekelasnya.

Kamu belum tahu Tris?Tadi ibu wali kelas dateng katannya Efli masuk rumah sakit dan keadaanya sedang kritis.”

“Apa?”

Efli mengidap penyakit kanker. Trisa lemas dan tidak sadarkan diri saking syoknya saat menjenguk Efli bersama teman sekelas ke rumah sakit. Ketika sampai di depan pintu kamar rawat Efli, air mata Trisa berlinang tanpa henti. Melihat Efli terbaring lemah seperti itu, hati Trisa pedih sekali. Ibu Efli sudah menceritakan semua yang terjadi padanya. Efli sudah mengetahui penyakitnya sejak SMP, dulu penyakitnya sering kambuh, makanya ia jadi jarang berangkat karena harus dirawat. Gara-gara penyakitnya Efli jadi minder ketika akan berteman, ia takut nanti sahabat-sahabatnya malah hanya akan merasa kasihan. Saat SMA ia bertemu dengan Trisa, Efli merasa Trisa adalah teman yang sangat istimewa, semua terasa cocok apabila bersama dengan Trisa, ia selalu merasa senang sampai hampir satu tahun ia tidak pernah merasakan penyakitnya dan hampir melupakannya. Tak disangka ketika naik kelas sebelas tubuhnya semakin lemah, perlahan ia meraskan sakit yang dulu dirasakannya. Namun kali ini sakitnya tidak tertahankan sampai rasanya Efli ingin mati saja. Setelah divonis oleh dokter kankernya sudah mulai menggerogoti ke seluruh tubuh, Efli benar-benar tidak bisa menerimanya. Ia sedang menikmati masa indah, masa remaja yang bahagia bersama sahabat, mempunyai banyak teman, dan prestasi yang terus ingin diraih. Satu vonis dokter membuat semuanya lenyap sekejap dari kehidupan Efli. Efli putus asa, ia ingin sekali menceritakan penyakitnya itu kepada Trisa namun, terlalu berat rasanya. Efli tidak ingin sahabatnya itu sedih. Semakin lama Efli merasa dirinya semakin menjauh dari Trisa. Efli sadar itu karena dirinya selalu menghindar dari Trisa terutama ketika ditanya mengenai sakit yang dideritanya yang membuat Efli sering tidak masuk sekolah. Namun Efli menghindar bukan tanpa alasan, setiap kali ingin bercerita atau bermain dengan Trisa seperti dulu lagi sering kali rasa sakit yang luar biasa itu kambuh dan Efli tidak bisa ditahannya. Trisa pasti bertanya-tanya tentang segala tingah lakunya yang banyak berubah. Dari awal Efli tahu bahwa ini merupakan resiko yang harus diterimanya. Namun tak bisa disangkal memang hatinya sangat sakit ketika harus menanggung resiko itu, terlalu berat untuk menjauhi sahabat tercintanya itu.

Efli melihat kearah jendela ia memperhatikan teman-temannya di halaman Rumah Sakit setelah tadi baru menjenguknya. Orang yang ditunggu-tunggu malah tidak kunjung datang. Trisa. Efli menyesal karena seharusnya ia tidak menyembunyikan tentang penyakitnya itu kepada Trisa. Efli takut jika Trisa tidak mau bersabahat lagi dengannya.

Terdengar bunyi pintu diketuk. Trisa datang. Jantung Efli berdegup kencang dan terasa mau copot saking senangnya.  Perasaannya benar-benar campur aduk antara rindu, bahagia, dan sedih melihat kedatangan Trisa.

“Efli,”

“Trisa,”

“Akhirnya kamu dateng juga,” Seulas senyum merekah di wajah Efli.

Itu adalah kali terakhir Trisa menjenguk Efli.

 

Ditengah padang rumput nan luas Trisa ditemani Bagas melihat pesawat yang membawa Efli terbang menuju Singapura. Efli akan dirawat disana. Keluarga Efli mendapat kabar bahwa ada Rumah sakit di Singapura yang bisa memberikan kesempatan Efli untuk sembuh. Tanpa pikir panjang Efli langsung diterbangkan ke Singapura. Trisa senang sekali, ia sangat mensuport kesembuhan Efli. Trisa juga senang karena kedatanganya kemarin merupakan keputusan yang sangat tepat.Ia tidak terlalu terlambat untuk meminta maaf kepada Efli dan mendengar curhatan Efli selama ini padanya. Trisa bisa mempertahankan persahabatannya dengan Efli. Dibawah sinar terik matahari Trisa mendoakan kesehatan sahabatnya itu dan mengenang kembali kenangan indah yang sudah mereka lalui bersama.

“Gimana sekarang perasaan kamu?”Tanya Bagas.

Lega banget gas, aku udah nggak salah paham lagi sama Efli dan seenggaknya aku nggak nyesel untuk kedua kalinya karena kemarin aku dateng buat jengukin Efli di rumah sakit. Aku emang bodoh banget ya. Kesempatan buat ketemu Efli itu kan enggak akan selalu Tuhan kasih tapi kenapa coba aku masih mikir panjang, malahan ngebuang waktu aku buat cerita lebih banyak  sama Efli,”

“Gitu dong, sekarang kamu harus lebih optimis dan positive thingking, terutama sama aku,

Iya iya deh, Inget ya kamu juga enggak boleh ngerahasian apa-apa dari aku, karena sekarang kamu aku nobatkan sebagai sahabat terbaik aku  setelah Efli.

“Tunggu, tunggu apa aku enggak salah denger?”

“Ye dasar lagi serius juga, iya kamu salah denger puas? Pulang yuk udah sore!”

“Trisa tunggu! Kok aku jadi yang kedua si?”

 

-END-

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.